“Bagaimana kamu yakin bakalan puas berhubungan seksual dengan calon Istrimu kalau gak pernah nge-seks sebelum menikah?”
Pertanyaan ini meluncur santai dari salah satu sahabat saya dari Jepang beberapa waktu lalu saat kami sedang makan siang bersama karena dia sangat tahu, seks bebas tak lazim bagi orang Indonesia.
“Saya tidak pernah berhubungan badan dengan yang lain. So how can I make a comparison?” saya membalasnya tenang.
Sejujurnya saya kaget mendapatkan pertanyaan dari dia seperti ini. Tidak pernah terbayangkan dalam otak saya bahwa hal ini akan menjadi masalah bagi seseorang jika dia tidak bisa menikmati kehidupan seksnya, maka pernikahannya tidaklah bahagia.
Kekagetan saya ini juga menjadi pertanda bahwa latar belakang yang berbeda, gaya hidup yang berbeda, nilai-nilai kebenaran yang berbeda ternyata juga melahirkan cara pandang yang berbeda.
Saya muslim, lahir di negeri mayoritas muslim dengan kultur islam yang kuat. Teman saya di Jepang tentu saja berbeda. Agama bukan lagi bagian dari hidup, seks bebas bukanlah aib apalagi dosa bagi mereka. Gonta ganti pasangan tidaklah masalah karena memang begitulah kehidupan mereka. Saya tidak bisa memaksa pemahaman saya seperti ini dalam sehari agar bisa diikuti olehnya. Begitu juga sebaliknya. Wajar jika dia keheranan soal kepuasan berhubungan seks kepada saya. Karena baginya, ini bagian terpenting dari sebuah hubungan resmi bernama PERNIKAHAN.
Dan zina adalah lifestyle di negeri-negeri barat dan tanpa agama. Karena memang mereka tumbuh dengan kultur seperti itu. Agama bukan lagi menjadi pelindung dan pengontrol atas nafsu manusia. Selama suka sama suka, bukanlah sesuatu yang terlarang bagi mereka. Entah itu lelaki sama lelaki, perempuan sama perempuan, semua sama saja. Tak ada masalah sama sekali.
Tak berapa jauh dari kampus University of Bristol, Inggris tempat saya dan Istri mengenyam pendidikan S3, ada club malam untuk Gay, di tempat-tempat umum sudah biasa orang berciuman mesra walau batas-batasnya tetap terjaga dan tidak sembarangan. Karena memang norma mereka dengan kita berbeda. Nilai yang mereka anut dengan kita berbeda. Di UK, pasangan lesbian bisa memiliki anak dari sperma sumbangan. Begitu juga dengan pasangan Gay, mereka juga melakukan hal yang sama. Maka alasan kepunahan manusia terbantahkanlah dengan cara mereka seperti ini. Kehidupan mentalnya bagaimana? tentu tidak akan sempurna sesuatu yang tidak pada fitrahnya, tapi teman saya Fissilmi Hamida ini pernah memiliki landlord (tuan rumah) pasangan lesbi yang punya skill parenting jauuuh lebih baik di banding orang tua-orang tua muslim yang pernah ditemuinya.
Lalu dengan “nyamannya” kondisi di negara barat yang menjadikan zina sebagai lifestyle, LGBT sebagai sesuatu yang lumrah, haruskan di Indonesiapun terjadi seperti itu?
Saya tidak ingin membahas soal penyebaran penyakit akibat dari perilaku zina ini. Karena informasinya sudah banyak beredar dan sudah jelas penyebabnya. Untuk itulah program-program seks sehat digalakkan di negara-negara maju yang kemudian juga disarankan oleh para aktivis YANG ANTI DIURUSI RANJANG-nya mengkampanyekan hal yang sama.
Tapi ingat para orang tua dimanapun!
Terutama kamu yang masih percaya dengan Allah dan syariat-Nya.
Kita sedang memandang wajah anak-anak kita di masa depan. Tentang ketakutan kita akan bahaya pornografi, tentang ketakutan kita akan perilaku seks menyimpang yang begitu mudah tertular, kita sedang khawatir ibu-ibu RT yang kemudian harus tertular Penyakit Menular Seksual (PMS) karena suaminya sering “jajan” di luar, kita sedang resah karena pelakor yang menghancurkan rumah tangga orang dengan dalih suka sama suka, kita sedang benci dengan maraknya tindakan seks bebas di kalangan remaja.
Ini bukan soal PMS yang bisa diatasi, ini bukan menjunjung tinggi hak asasi seseorang karena atas dasar pilihannyalah dia berzina. Kita sedang mencoba untuk saling menasihati sebagai sesama muslim. Karena agama ini nasihat [1].
Kita sedang ingin mengingatkan saudara kita diseberang rumah atau mungkin saudara kandung kita bahwa masih ada Iman yang harus kita pegang, masih ada kekuatan ruhiyah yang bisa kita perjuangkan agar jauh dari tindakan tak senonoh seperti ini.
Ini bukan hanya tentang kekhawatiran akan masa depan anak-anak kita, keluarga terdekat kita, ketakutan ini jauuuuh lebih panjang dari itu. Yang kita takut adalah saat kita sakratul maut nanti. Saat kita menghadap Allah nanti. Tidak ada kekhawatiran yang mendera begitu hebatnya selain melihat saudara muslim kita sendiri terjebak dalam pusaran maksiat seperti ini. Untuk itu kita memberi nasihat, untuk itulah kita berjuang hingga ke parlemen dan undang-undang.
Ini bukan karena saya lebih baik dan anda lebih buruk dari saya, tapi tentang saling membuka lebar-lebar tentang mana yang salah dan mana yang benar. Tentang kembali ke kultur kita sebagai seorang muslim, seseorang yang masih percaya bahwa ada aturan Allah yang harus kita ikuti, ada rambu-rambu yang harus kita jaga.
Anda mau anak-anak SMA terbiasa hamil lalu cuti melahirkan dan kembali sekolah lagi? ini terjadi di negeri Inggris yang menjadikan zina sebagai lifestyle.
Anda mau suka sesama jenis adalah hal lumrah yang tak perlu dikhawatirkan dan sudah dimulai sejak anak-anak anda remaja? ini terjadi di negara yang tak mau lagi percaya akan Tuhan.
Anda mau jika agama yang menjadi penyelamat hidup kita kelak hanya menjadi atribut tak berguna yang hanya menjadi sumber pengekang kehidupan manusia?
Kalau anda mau silahkan. Tapi tidak dengan kami yang masih ingin nafas islam itu bernyawa di tubuh dan jiwa generasi-generasi kami.
Kami masih ingin lantunan qur'an itu merdua disetiap maghribh maupun subuh di rumah kami dan anak-anak kami kelak.
Kami masih ingin semangat menuntut ilmu di sekolah selalu teriring dengan keinginan yang kuat untuk mendekat kepada Allah.
Kami masih ingin itu terjadi sekalipun kami mati. Untuk itulah kami berjuang menjaga ketahan keluarga agar tetap memiliki nafas Allah dan Rasul-Nya dari rumah-rumah setiap keluarga muslim.
Jika anda tak suka, jangan menuduh kami tak mau memperjuangkan hakmu yang kamu atur sesukamu. Kami sedang khawatir keindahan berislam itu hilang dan luntur dari akar keluarga kami. Untuk itulah kami bersuara.
Saya tidak pernah menyesal terlahir sebagai muslim dan dianggap “terkekang” dengan aturan-aturan agama.
Karena dengan itulah jiwa kami bisa lapang, dengan mengingat-Nya lah hati kami tenang. Kami tak perlu pusing memikirkan akhir pekan harus mabuk berapa lama seperti teman saya dari Romania, kami tak perlu berfikir berapa banyak uang yang harus kami keluarkan hanya untuk MENCARI KEBAHAGIAAN persis seperti rekanku dari Italia yang kebingungan mencari destinasi liburan, kami tak perlu bingung memikirkan apakah calon pasangan kita memuaskan di ranjang atau tidak karena tak pernah mencobanya sebelum menikah, kami tak perlu sibuk bekerja hingga meninggal seperti orang Jepang hanya untuk memuaskan dahaga dunia.
Untuk itu setiap orang tua dimanapun, keluarga adalah kunci dan fondasi paling awal menantang “keras"nya dunia. Jika Agama hilang dari keluarga kita, maka bersiaplah menerima gaya hidup baru yang semakin menjauhkanmu dari Tuhan.
Bagi kalian yang senang semakin jauh dari Tuhan, silahkan. Tapi bagi kami, keberadaan Allah di hati adalah segalanya. Bagi kami, menjaga anak dan keluarga kami dari api neraka lebih kami takutkan dibanding mengikuti mau manusia yang selalu berujung pada nafsu belaka.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [at-Tahrîm/66:6]
Salam musim dingin dari Bristol, Inggris.
[1] Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar