sambungan dari part 1 (klik)
Asy Syifa masih riuh ketika Ustadz Deden hendak melanjutkan penjelasannya kembali.
“Mari kita lanjutkan. Setelah menyarankan untuk menikahi dua, tiga atau empat perempuan dengan tujuan memberikan keadilan (dan perlindungan), Allah kemudian memfirmankan ini ‘Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…’.”
“Sejenak kita sampingkan kalimat ini dan kita fokus pada kosa kata adil dalam ayat ini yang Allah sebutkan dalam dua jenis kata yang berbeda: تُقْسِطُوا di awal dan تَعْدِلُوا di akhir. Artinya apa? تُقْسِطُوا biasa dipakai untuk menggambarkan keadilan yang besar. Memberi perlindungan kepada anak yatim, sesama muslim yang ditinggal mati ayahnya dalam perang, dan sebagainya adalah perkara yang besar. Menikahi mereka dengan niat memberi perlindungan adalah hal besar. Sesuatu yang besar. Maka تُقْسِطُوا dipakai untuk menggambarkan keadilan yang besar ini. Sedangkan تَعْدِلُوا biasa dipakai untuk menggambarkan keadilan dalam hal-hal kecil, seperti salah satunya adalah perasaan. Keadilan perasaan. Maka, jika kita takut tidak bisa adil (dalam hal kecil, sekalipun itu sekecil perasaan), maka lebih baik nikahilah seorang saja.”
Tak pelak kami, yang perempuan, tersenyum-senyum dan para laki-laki manggut-manggut memahami hal ini sebagai sesuatu yang besar sekali nampaknya. Ada rasa terharu yang entah darimana datangnya. Rasa-rasanya Allah sungguh mengasihi kami, hanya kami tak pernah sadar. Bahkan hal sekecil perasaan saja Ia pertimbangkan.
“Maka, sampai pada titik ini kita seharusnya menyadari sesuatu, bahwa: keadilan tidak selalu sama. Keadilan untuk laki-laki tidak selalu sama karena tidak semua bisa melakukan pernikahan dengan lebih dari satu wanita, ini ditimbang berdasarkan kemampuannya dalam agama dan dalam hal apapun ditambah dengan syarat-syarat yang kita telah bahas tadi bahwa perempuannya harus begini, bahwa cara yang lebih afdol adalah begini dan sebagainya. Ada kalanya adil bagimu adalah dengan menikahi satu saja. Kamu tetap berbuat adil kepada istrimu dan kepada saudaramu dengan menjaga keadilan perasaan tadi. Itu adil. Jangan dikira tidak. Itu adil, keadilan yang kecil namun menghindari suatu mudharat besar bernama aniaya.”
“Maka, pilih adil yang mana?”
Kami tertawa, kami malu, sebab keadilan yang kami pilih mungkin hanya keadilan kecil.
“Lantas, mari kita lihat lagi. Allah menyebutkan ‘seorang’ dengan kata ‘wahidah’. Wahid itu satu. Wahid itu sifat Allah. Mengapa penggunaan katanya wahid? Sebab yang satu itu adalah utama, terutama dan punya keutamaan. Maka, kalian perempuan yang Allah sebut sebagai wahidah, jika ingin menjadi perempuan yang utama, milikilah keutamaan. Seperti Khaadijah, seperti Fatimah.”
Dan mata kami berkaca-kaca. Kami, yang awalnya cemburu kini justru malu. Kecemburuan kami hadir karena kurangnya ilmu kami sendiri. Karenanya, kami tak memahami pemaknaan ayat yang seindah ini.
“Kemudian bagaimana jika ada seorang wanita yang justru mencarikan wanita lain untuk dinikahi suaminya? Ya tidak apa-apa. Berarti hatinya telah diberikan kepada Allah, tujuannya adalah untuk mencapai suatu keadilan yang besar. Syahwatnya telah luruh menjadi ibadah dan ibadah. Tidak apa-apa, bukan berarti dia tidak menjadi wanita yang utama. Ada keistimewaan lain yang ia punya.”
“Dalam perkara dicarikan istri lagi ini, laki-laki juga ada adabnya. Kita harus mengingat bagaimana santunnya Rasulullah menjawab pinangan seorang wanita yang disampaikan melalui bibinya waktu itu. Beliau, dengan kerendahan hatinya menjawab bahwa beliau sudah cukup dengan istrinya saat itu. Itu adabnya. Maka jika esok kalian menemui istri kalian mencarikan lagi istri untuk kalian karena satu hal tertentu, jawablah dengan penuh kerendahhatian dan kewibawaan ‘saya, cukup dengan kamu saja’ itu adabnya. Selanjutnya, monggo, bisa dibicarakan.”
Kemudian kami tersenyum-senyum lagi, perasaan berkecamuk tak karuan.
“Nah, selesai sudah penjelasannya. Tinggal kita hendak memilih keadilan yang bagaimana: yang pertama atau yang kedua. Kedua-duanya sama-sama baik. Kedua-duanya sama-sama menuju tempat yang sama jika niatnya benar: Surga.”
Saya diam. Maka benar bahwa “menikah itu tidak hanya dunia, tapi dunia-akhirat seisinya.” mengutip hal yang disampaikan Dr. H. Akhmad Alim, Lc, MA. pada majelis empat minggu sebelumnya.
Kami, terlebih saya, pulang dengan membawa pemikiran yang terus berputar-putar. Saya bersemangat sekali untuk menceritakan ini hanya takut salah pemaparan (karena dalam pemaparan aslinya Ustadz Deden banyak menerangkan tentang ilmu nahwu, pemilihan kata, penerjemahan dalam bahasa arab dll yang kurang saya pahami). Tapi pada akhirnya, saya beranikan dengan niat baik ingin berbagi ilmu. Semoga kesalahan yang saya perbuat dalam pemaparannnya bisa dikoreksi oleh teman-teman yang lebih tahu.
Demikian kiranya. Semoga dapat menjadi pembelajaran.
Semangat.
Semoga kita dapat menjadi manusia yang adil dalam setiap urusan :)
*disarikan dari ceramah Ust. Deden Makhyaruddin dalam kajian Madrasah Peradaban, 280516, Masjid Asy Syifa, Jakarta Pusat.
**kekurangtepatan penjelasan karena terbatasnya ilmu penulis dalam membahasakannya kembali. Mohon dikoreksi jika berkenan.
- Repost from tumblr Khoiriyalatifah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar