Selasa, 01 Mei 2018

Belajar Parenting Sejak Hari Ini : Urgensi Keluarga Dalam Pembangunan Bangsa

Keluarga adalah organisasi terkecil sekaligus pilar terpenting sebuah Negara. Menurut BKKN, Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (BKKBN, 1992).
Keluarga yang baik membentuk masyarakat yang baik, dan masyarakat yang baik membentuk Negara yang baik. Bahkan lebih dari itu, keluarga adalah pondasi dasar pembangun sebuah peradaban. Membangun keluarga berarti membangun peradaban.
Keluarga juga dapat disebut sebagai produsen utama manusia. Dari keluarga akan lahir anak-anak serta keturunan yang akan menambah jumlah sumber daya manusia suatu negara. Maka untuk membentuk calon penerus bangsa di masa depan, harus dipersiapkan saat membentuk keluarga.
Menciptakan keluarga yang harmonis dan berkarakter akan menjadi bibit-bibit dasar pembangun Negara di masa depan, karena dari keluargalah pemimpin bangsa lahir. Pemimpin bangsa tidak lahir dari camp-camp pelatihan yang berat, bukan dari kampus-kampus atau hutan belantara, tetapi setiap pemimpin selalu lahir dari keluarga. Keluarga yang berakhlak akan membentuk pribadi-pribadi yang berakhlak.
Untuk memenuhi hal tersebut, maka sudah sewajibnya penanggung jawab keluarga dalam hal ini ayah dan ibu haruslah memiliki kapabilitas dalam membentuk keluarga yang berakhlak. Tanggung jawab pembentukan karakter keluarga sudah seharusnya berada ditangan ayah dan ibu sebagai orang tua. Mereka harus mampu membuat sistem pendidikan yang baik di keluarga.
Awal dari terbentuknya satu keluarga dimulai dari adanya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bersepakat mengikat janji pernikahan. Pernikahan bukan hanya sekedar pemenuhan hasrat seksual yang merupakan fitrah manusia, namun di dalamnya juga terdapat tanggung jawab. Tanggung jawab atas keluarga yang dibentuk hingga tanggung jawab akan masa depan anak anak yang dilahirkan.
Secara fungsinya, berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB, “Keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera.
Tugas dan tanggung jawab dalam mencapai keluarga sejahtera berada di tangan Ayah dan Ibu, bukan pada salah satunya, melainkan saling berbagi peran tanggung jawab. Oleh karena itu, pembentukan keluarga berkarakter memerlukan kolaborasi positif dari suami dan istri.
Kolaborasi itu terjewantahkan dalam bentuk visi dan misi keluarga yang akan dibentuk. Seperti yang telah disampaikan di awal bahwa keluarga adalah organisasi terkecil sebuah Negara, maka dalam pelaksanaannya haruslah dilakukan sebagaimana sebuah organisasi dijalankan, dimana ada visi dan misi di dalamnya.
Setiap individu harus memiliki visi dan misi keluarga yang akan dibentuk. Dan berkeluarga adalah mencari pasangan dengan visi yang searah serta misi yang sejalan sehingga adanya kolaborasi positif melalui pernikahan akan mempercepat laju pencapaian visi tersebut.
Pembekalan ilmu sebagai seorang Ayah dan Ibu
Setiap pasangan yang baru menikah, pastilah menginginkan anak anak yang berakhlak dan cerdas. Membentuk anak yang cerdas dan berkarakter tidak semudah membalikkan telapak tangan, ada proses panjang didalamnya.
Jika di analogikan posisi ayah dan ibu sebagai suatu profesi, sebagaimana profesi  lainnya seperti insinyur, dokter, polisi, maka profesi ayah dan ibu haruslah dipersiapkan sedini mungkin bahkan sejak si ayah dan ibu tersebut belum menikah. Gelar ayah dan ibu memang didapatkan saat si anak lahir namun keahlian/skill seorang ayah tidak ujug-ujug langsung didapatkan saat si anak lahir. Ada proses “menjadi” di dalamnya.
Menjadi orang tua haruslah dipelajari dan diasah, tentang bagaimana mendidik anak, mengetahui umur-umur produktif anak serta hal-hal lainnya harus sudah diketahui oleh seorang calon suami atau istri, agar tidak mulai belajar justru pada saat si anak lahir.
Seorang yang bercita-cita menjadi dokter pastilah akan mempersiapkan fisik dan mentalnya sebagai seorang dokter jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan bertahun-tahun mempersiapkannya, mulai dari rajin belajar matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, fisika, kimia, dan biologi agar dapat lulus di fakultas kedokteran. Bahkan setelah masuk di fakultas kedokteran masih harus mempelajari perkuliahan dan praktik kedokteran dengan giat supaya dapat meraih gelar dokter dengan nilai yang baik yang nantinya akan menghasilkan dokter yang hebat.
Maka profesi seorang ayah atau seorang ibu haruslah juga dipersiapkan seperti mempersiapkan profesi seorang dokter bahkan harus lebih karena anak-anak akan menjadi tanggung jawab seorang ayah dan ibu dalam keluarga baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Profesi Ayah atau Ibu bukanlah profesi yang rendah, terutama seorang ibu. Banyak ditemukan hari ini bahwa profesi seorang ibu adalah profesi yang rendah, yang urusannya hanya seputar kasur, sumur dan dapur saja. Profesi seorang ibu adalah profesi yang mulia, profesi yang lebih tinggi dari profesi-profesi lainnya. Profesi dimana surga berada di kakinya, yang membuat  derajatnya tiga kali lebih tinggi dari seorang ayah, profesi yang melahirkan profesi-profesi lainnya. Maka menjadi seorang ibu adalah sebuah anugerah.
Pun dengan peran seorang Ayah, tidak melulu sekedar mencari nafkah lalu membiarkan Ibu mengerjakan semua pekerjaan rumah. Sebab tanggung jawab rumah adalah tanggung jawab bersama, maka Ayah dan Ibu sudah seharusnya saling berbagi peran, saling membantu dan bekerja sama agar terciptanya keharmonisan keluarga.
Bahkan tanggung jawab mendidik anak tetap berada di tangan ayah dan ibu. Walaupun saat ini sangat banyak sekolah-sekolah play group, baby sitter, pesantren dan lembaga pendidikan lainnya, hal itu tetap tidak akan bisa menggantikan fungsi ayah dan ibu sebagai pendidik utama anak-anak di keluarga. Oleh karena itu ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa ibu adalah sekolah utama dan pertama bagi seorang anak, dan ayah adalah kepala sekolahnya.
Pentingnya Pendidikan Parenting pada Pemuda
99.9 persen manusia pastilah memiliki keinginan untuk menikah, dan dari pernikahan tersebut tentu menginginkan lahirnya anak-anak yang cerdas serta berakhlak. Artinya, hampir setiap orang di muka bumi ini akan berprofesi sebagai ayah dan ibu. Apakah mereka itu dokter, polisi, insinyur dan lain lain, yang pasti dibalik semua profesi tersebut mereka pasti akan atau telah menjadi seorang ayah dan ibu. Dengan satu keniscayaan tersebut, maka sangat penting bagi setiap insan muda untuk mempersiapkan dirinya sebagai orang tua.
Menjadi orang tua tanpa bekal ilmu parenting sama saja seperti menjadi seorang dokter tanpa belajar ilmu kedokteran. Jika dokter tersebut mendapat pasien tentu pasien bisa saja meninggal dunia. Hal tersebut juga berlaku untuk profesi orang tua, menjadi orang tua tanpa bekal ilmu parenting tentu keluarga akan berantakan dan berakibat anak akan salah pendidikan.
Mempersiapkan diri menjadi orang tua harus dimulai sejak kecil. Sejak anak-anak mulai beranjak dewasa karena mereka akan menjadi orang tua di masa depan. Ada tantangan dan tanggung jawab besar di tangan mereka, karenanya orang tua harus menyiapkan otak dan pundak yang kuat untuk memikulnya.
Seorang Ayah atau Ibu harus memiliki ilmu sebagai Ayah dan Ibu juga, karena apabila sesuatu dipegang oleh orang yang tidak memiliki ilmu, maka tunggulah kehancurannya. Dan apabila profesi Ayah dan Ibu diawali tanpa ilmu, maka tunggulah waktu kehancuran keluarganya.
Belajar menjadi Ayah atau Ibu seperti sekali dayung dua tiga lampau pulau terlampaui. Dengan belajar menjadi Ayah dan Ibu berarti sekaligus belajar meng-upgrade karakter diri menjadi lebih baik. Pembelajaran terbaik untuk anak adalah memberikan contoh langsung oleh Ayah atau Ibu, maka dengan belajar menjadi Ayah dan Ibu sekaligus mengasah karakter diri menjadi lebih baik, juga mengasah anak berakhlak baik.
Tak ada kata terlambat untuk belajar. Untuk masa depan yang lebih baik, untuk masa depan negara yang cemerlang serta untuk peradaban yang lebih berakhlak dapat dimulai dari saat ini, dengan belajar ilmu-ilmu parenting. Mempersiapkan anak-anak yang cerdas dan berkarakter berarti menciptakan dunia yang indah bagi mereka di masa depan. Sayangi anak dengan mempelajari ilmu parenting.
Rahim Isnan Al Hilman
Kepala Bidang Riset dan Kajian ASA Muda Indonesia

(3) Solusi 7 Pilar Pengasuhan

Tulisan ini adalah resume dari Seminar 7 Pilar Pengasuhan oleh Ibu Elly Risman yang diselenggarakan di Bandung, 11 Maret 2017. Padatnya materi membuat resume ini perlu disajikan dalam beberapa bagian. Untuk membaca bagian-bagian selanjutnya, klik disini.
Dalam dua tulisan sebelumnya, kita telah membahas mengenai apa dan mengapa anak-anak sekarang memilih untuk mengambil jalur the exit door yang tergambarkan dalam berbagai fenomena yang sedang terjadi di era digital ini. Jika ditarik garis lurus, akar dari permasalahan-permasalahan ini adalah rapuhnya 7 pilar pengasuhan. Padahal, sebenarnya 7 Pilar Pengasuhan itu sendiri dapat menjadi solusi yang komprehensif. Seperti apakah itu?
1. KESIAPAN MENJADI ORANGTUA
Hari ini zaman sudah berubah. Pengasuhan tidak bisa lagi dilakukan hanya dengan copy-paste pola pengasuhan yang orangtua berikan dulu kepada kita. Akan baik jika pengasuhan terdahulunya itu baik, tapi apa kabar jika ternyata rantai pengasuhan yang tidak efektif malah jadi tidak terputus? Padahal, dalam Q.S An-Nisa ayat 9 Allah memperingati kita agar takut kepada Allah jika kita meninggalkan di belakang kita anak-anak yang lemah. Kalau begitu, apa yang perlu dilakukan? Bersiaplah, bahkan jauh-jauh hari sebelum tahu dengan siapa dan kapan akan menikah. Persiapkan semuanya: keimanan, ilmu, fisik, dan lain-lain. Satu hal yang penting, dalam pengasuhan anak, kita perlu sadar bahwa anak adalah titipan Allah. Maka, mengasuh berarti bahwa kita akan menjadi baby sitternya Allah, yang kelak Allah pasti memintai kita pertanggungjawaban atas pengasuhan tersebut. Yuk, bersiap!
2. DUAL PARENTING, PULANGKAN AYAH KE SINGGASANANYA
Pada umumnya, pengasuhan anak hampir sebagian besar diserahkan kepada Ibu, seolah itu sudah menjadi tanggung jawab Ibu di rumah. Sementara itu, peran ayah seolah hanyalah di luar rumah dan mencari uang. Adapun ketika berinteraksi dengan anak, hanya sebatas menanyakan hal-hal yang formalitas, “Adek PR udah dikerjain belum? Uang jajan masih ada?” Padahal, tidak terlibatnya ayah dalam pengasuhan akan berdampak pada kebutuhan jiwa dan spiritual anak yang tidak terpenuhi, Ibu Elly Risman mengistilahkannya dengan ‘anak-anak yang sunyi jiwanya’. Pada anak laki-laki, kurangnya peran ayah bisa mengakibatkan anak menjadi nakal, agresif, terlibat narkoba, dan bahkan melakukan seks bebas. Sedangkan, pada anak perempuan, kurangnya peran ayah bisa mengakibatkan anak menjadi rentan terhadap depresi dan seks bebas. So, “Ayah, pulanglah ke peranmu, duduklah di singgasana tanggung jawabmu, dan didiklah anak-anakmu sesuai dengan perananmu!”
3. TETAPKAN DAN SEPAKATI TUJUAN PENGASUHAN
Sebelum menikah atau memiliki anak, tetapkanlah dulu tujuan pengasuhan yang jelas. Dalam menetapkannya, sebaiknya jangan ikut-ikutan dengan tujuan pengasuhan yang dimiliki oleh keluarga lain terhadap anak-anaknya karena setiap keluarga itu unik dan memiliki visi dan misinya masing-masing. Satu hal yang penting, mendidik dan mengasuh anak sejatinya bukanlah untuk menjadikannya sukses di dunia, tapi untuk menjadikannya sebagai hamba Allah yang takwa.
4. KOMUNIKASI BENAR, BAIK, DAN MENYENANGKAN
Banyak kasus anak-anak yang memilih untuk mengambil jalan pintas dan melalui The Exit Door karena mereka merasa perasaannya tidak pernah disapa dan dimengerti. Melalui berkomunikasi dengan benar, baik, dan menyenangkan, diharapkan anak akan merasa dirinya berharga bermula dari dalam keluarga. Seperti apakah itu? Pembahasan tentang ini akan dibahas di tulisan selanjutnya, ya!
5. PENANAMAN NILAI AGAMA OLEH ORANGTUA
Dalam seminarnya, Ibu Elly Risman menyampaikan bahwa modal terbesar yang perlu dimiliki oleh kita sebagai orangtua dan calon orangtua adalah rasa takut kepada Allah. Maka, kurang bijak kiranya jika kita men subkontrakkan pada sekolah, guru, atau bahkan taman pendidikan agama. Padahal, yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang pengasuhan anak dan penanaman nilai-nilai tauhid adalah orangtua dari anak tersebut, bukan guru, sekolah, atau orang lain. Oleh karena itu, bekalilah diri dengan ilmu-ilmu agama agar bisa menjadi orang pertama yang mengajarkannya kembali kepada anak-anak kelak.
6. PERSIAPAN MASA BALIGH
Banyak remaja-remaja sekarang yang seolah tidak siap untuk menjadi remaja. Mereka tidak mengerti perbedaan peran laki-laki dan perempuan, perbedaan seks dan seksualitas, dan tumbuh dengan pertumbuhan fisik dan psikologis yang tidak seimbang. Kebanyakan orangtua luput untuk mempersiapkan ini untuk anak-anaknya. Bahkan, banyak juga remaja-remaja yang panik dan sangat bingung ketika mendapati dirinya haid atau mimpi basah untuk pertama kali. Oleh karena itu, jangan tabu dalam membicarakan dan mempersiapkan ini untuk anak-anak (atau adik-adik) kita. Pesan Ibu Elly Risman, “Jangan ditunda, mau sampai kapan? Kan, anak kita hidup di era digital.”
7. BIJAK BERTEKNOLOGI
Teknologi bukanlah sesuatu yang harus dihindarkan dari kehidupan anak-anak kita sebab mereka memang hidup di era digital yang tidak terlepas dari perkembangan teknologi. Hanya saja, sebagai orangtua (dan calon orangtua) kita perlu bijak. Salah satu contohnya adalah dalam hal memberikan gadget kepada anak. Sebelum memberikan gadget, diskusikan dulu kebutuhannya(apakah memang butuh atau sekedar ingin), diskusikan tanggung jawabnya(buatlah aturan dan konsekwensi terkait jadwal pemakaian, durasi penggunaan, aplikasi yang boleh digunakan, dan biaya yang perlu dikeluarkan), serta diskusikan juga resikonya (jelaskan tentang hal negatif yang timbul dari penggunaan gadget, dll).
__________
Bersambung ke tulisan selanjutnya, ya!
Source : Novieocktavia

(2) Rapuhnya 7 Pilar Pengasuhan

Tulisan ini adalah resume dari Seminar 7 Pilar Pengasuhan oleh Ibu Elly Risman yang diselenggarakan di Bandung, 11 Maret 2017. Padatnya materi membuat resume ini perlu disajikan dalam beberapa bagian. Untuk membaca bagian-bagian selanjutnya, klik disini. 
Jika ditelisik lebih dalam, permasalahan-permasalahan yang secara umum dituliskan dalam resume sebelumnya terjadi karena rapuhnya 7 Pilar Pengasuhan. Apa sajakah 7 pilar tersebut?
1. KESIAPAN MENJADI ORANGTUA
Sadarkah kita bawa ketika menjadi orangtua itu berarti bahwa kita adalah baby sitternya Allah yang dititipi anak sebagai amanah? Sayangnya, yang banyak terjadi sekarang adalah kesiapan menjadi orangtua ini menjadi tidak terpikirkan sebelum menikah, bahkan belum terpikir juga setelah menikah. Kalau begitu, wajar kiranya jika banyak sekali trial and error yang dilakukan terhadap anak. So, sejauh mana pernikahan dipersiapkan? Apa yang membuatmu memutuskan untuk menikah? Sepakat akan punya anak berapa? Berapakah jarak usia antaranak? Siapa yang akan mengasuh anak? Apakah suami dan isteri keduanya akan bekerja? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini, sebaiknya dirumuskan dan dijawab terlebih dahulu sebelum menikah. Kesiapan menjadi orangtua ini adalah bahasan yang panjang, beberapa bahasan yang sudah pernah saya dapat dari berbagai sumber (terutama NuParents) saya tuliskan disini.
2. DUAL PARENTING, AYAH HARUS TERLIBAT
Kesibukan ayah sebagai tulang punggung keluarga sedikit banyak telah menggeser esensi hubungan interaksi sosial antara anak dan ayah. Ayah bekerja lebih lama (atau bahkan sangat lama) di luar rumah sehingga seringkali tidak menjalankan perannya dengan optimal. Ayah berangkat sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam saat anak-anak sudah tertidur lelap. Ketika ayah berada di rumah, waktu yang dimiliki pun seringkali tidak dimanfaatkan secara optimal untuk kebersamaan dengan anak. Ayah tidak benar-benar hadir secara psikologis karena disibukkan oleh gadget, menonton sepak bola, membaca buku-buku bisnis dan surat kabar, mengecek e-mail klien, dll. Padahal, sudah semestinya ayah terlibat dalam pengasuhan karena pengasuhan yang optimal adalah pengasuhan yang dilakukan seimbang oleh kedua peran orangtua, yaitu ayah dan ibu. Yup, Dad is not simply a sperm donor, Dad is a part of his child’s DNA! Pada akhirnya, bukan hanya keberadaan fisik yang diinginkan oleh seorang anak, melainkan juga keberadaan peran secara emosi dan psikologis. Lebih lanjut tentang ini akan di bahas di tulisan selanjutnya, ya!
3. MENETAPKAN DAN MENYEPAKATI TUJUAN PENGASUHAN
Dalam seminar 7 Pilar Pengasuhan ini, Bunda Elly menyampaikan, “Main bola aja ada gawangnya, ada tujuannya. Masa mengasuh anak tidak ada tujuannya?” Salah satu penyebab permasalahan dalam pengasuhan anak adalah karena tujuan pengasuhan yang tidak terumuskan dengan baik dan tidak ada kesepakatan antara ayah dan ibu. Dalam menetapkannya, sebaiknya jangan ikut-ikutan dengan tujuan pengasuhan yang dimiliki oleh keluarga lain terhadap anak-anaknya karena setiap keluarga itu unik dan memiliki visi dan misinya masing-masing.
4. KOMUNIKASI BENAR, BAIK, DAN MENYENANGKAN
Berkomunikasi dengan benar berarti sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Berkomunikasi dengan baik berarti sesuai dengan kinerja otak. Sedangkan, berkomunikasi dengan menyenangkan berarti dapat diterima oleh perasaan karena otak pusat perasaan pada anak berkembang lebih dulu daripada bagian otak yang lainnya. Sayangnya, banyak sekali kekeliruan-kekeliruan dalam berkomunikasi yang sering kita lakukan terhadap anak dan atau orang lain dalam kehidupan sehari-hari? Apa sajakah itu? Lebih lanjut tentang ini akan di bahas di tulisan selanjutnya, ya!
5. PENANAMAN NILAI AGAMA OLEH ORANGTUA
Satu hal yang sangat saya ingat dari nasehat Bunda Elly terkait hal ini adalah bahwa pengasuhan anak tidak bisa dilakukan dengan benar jika kita sebagai orangtua tidak memiliki rasa takut kepada Allah. Mengapa demikian? Sebab, target terakhir dalam mengasuh anak bukanlah menjadikan anak tersebut sukses, melainkan menjadikannya sebagai hamba Allah yang bertakwa. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Pendidikan agama disubkontrakkan pada sekolah, guru, atau bahkan taman pendidikan agama. Padahal, yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang pengasuhan anak dan penanaman nilai-nilai tauhid adalah orangtua dari anak tersebut, bukan guru, sekolah, atau orang lain.
6. PERSIAPAN MASA BALIGH
Persiapan masa baligh adalah sesuatu yang tidak umum untuk dilakukan di masyarakat kita. Kebanyakan orangtua menganggap bahwa anak akan siap dengan sendirinya. Padahal, apa yang terjadi jika anak tidak siap menghadapi masa remaja? (1) anak tidak akan mengerti perbedaan seks dan seksualitas; (2) anak tidak akan paham mengapa Allah memerintahkan untuk menundukkan pandangan; dan yang paling parah (3) anak bisa aktif secara seksual karena kurangnya penanaman pemahaman. 
7. BIJAK BERTEKNOLOGI
Kehidupan kita di era digital sekarang ini tidak bisa terlepas dari gadget. Di era ini, perkembangan teknologi digital terus terjadi sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap bagaimana kita menjalani keseharian. Di usianya yang masih berbilang satuan, anak-anak sekarang bahkan sudah sangat akrab dengan penggunaan media sosial. Pada akhirnya, era digital ini memang seperti dua mata pisau yang memuat manfaat positif di satu sisi dan juga memuat hal negatif di sisi yang lain. Jika anak tidak diajarkan untuk bijak berteknologi, bisa dibayangkan kan apa yang akan terjadi.
Tujuh Pilar Pengasuhan ini harus ada secara utuh dan menyeluruh, tidak bisa hanya single factor saja. Sebagai orangtua dan calon orangtua, kita memiliki pilihan untuk menyelamatkan anak-anak dan generasi mendatang dari The Exit Door dengan mengokohkan 7 Pilar Pengasuhan ini agar tidak rapuh. 
Bagaimana caranya?
__________
Bersambung ke tulisan selanjutnya …

Source : Novieocktavia

Tentang Menikah: 2# Aku Bukan Malaikat, Kau Bukan Bidadari

Setelah akad terucap, perasaan bahagia menyeruak di hatinya. Senyumnya terus mengembang. Akhirnya ia menghalalkan sesosok wanita yang di matanya terlihat sempurna tanpa cela.
Seminggu, dua minggu, sebulan, setahun berlalu. Perlahan - lahan ia melihat hal yang kurang ia sukai dari pasangannya. Karakter pasangannya perlahan - lahan mulai tampak, termasuk kekurangannya. Begitu banyak kekurangan pasangannya yang ia lihat dan betapa seringnya cekcok yang terjadi, hingga terbersit di pikirannya, apakah aku telah menikahi orang yang salah?
Naudzubillahi min dzalik. 
Saat mencari pasangan hidup, tidak jarang seseorang memiliki segudang kriteria. Semuanya harus baik. Padahal tidak ada insan yang sempurna, tanpa salah, tanpa cela. Insan, jika dilihat dari aspek bahasa, berasal dari tiga akar kata. Salah satunya  نَسِيَ (nasiya) yang berarti lupa. Sehingga manusia terkadang bisa lupa dan  mudah dipengaruhi syaithan untuk melakukan perbuatan tercela.
Bahkan sesosok Nabi pun pernah melakukan kesalahan. Seperti Nabi Yunus yang ditelan ikan  Paus sebagai teguran dari Allah karena marah dan meninggalkan kaumnya karena dakwahnya tidak diindahkan. Pun Nabi Muhammad yang pernah ditegurNya karena mengharamkan madu yang hukum asalnya halal untuk menyenangkan istrinya.


Kau bukan Malaikat, dia pun bukan Bidadari. Jika akhlaqmu tak seperti Muhammad, mengapa mendamba sosok  yang serupa Khadijah? 
Mungkin istrimu tak pandai memasak, namun ternyata ia amat piawai mendidik anak. 
“Dan bergaullah dengan mereka (istri-istrimu) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.“ 
( QS An-Nisa’:19) 
Mungkin suamimu tak pintar merayu, namun jerih payahnya dalam mencari nafkah untukmu, mendidikmu dan menjagamu dari api neraka, cukup menjadi alasan atas sabda Rasulullah,
“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya”.


Maka, kuncinya adalah:
1. Tidak berekspektasi berlebihan, karena tak ada manusia yang sempurna.
Sebelum atau awal-awal menikah terkadang ekspektasi dan pandangan seseorang terhadap pasangannya begitu besar. Hal tersebut wajar karena saat jatuh cinta, seperti dikatakan seorang Profesor Neurosains Harvard Medical School (klik di sini untuk melihat sumber), terjadi  perubahan neurotransmitter di otak, dan terjadi deaktivasi jalur neural yang bertanggung jawab terhadap emosi negatif. Salah satunya menurunnya fungsi penilaian kritis terhadap orang lain, termasuk penilaian orang yang dicintai. Ketika kadar neurotransmitter tersebut menurun, pikiran pun seakan ‘kembali jernih’. 
2. Bersyukur akan apa yang ada pada pasangannya. Allah pasti memberikan yang terbaik untuk kita. Karena boleh jadi kita tidak menyukai sesuatu padahal menurutNya itu baik untuk kita.
 3. Menundukkan pandangan, serta tidak membanding-bandingkan pasangan dengan orang lain.
 Ada sebuah kisah yang beberapa kali pernah saya baca, tentang seorang suami yang mengadukan perasaannya kepada seorang Syaikh. Ia berkata, 
"Ketika aku mengagumi calon istriku seolah-olah dalam pandanganku ALLAH tidak menciptakan perempuan yang lebih cantik darinya di dunia ini. Ketika aku sudah meminangnya, aku melihat banyak wanita seperti dia. Ketika aku sudah menikahinya aku lihat banyak wanita yang jauh lebih cantik dari dirinya. Ketika sudah berlalu beberapa tahun pernikahan kami, aku melihat seluruh perempuan lebih manis dari pada istriku." 
Sang Syaikh berkata, 
"Apakah kamu mau aku beritahu yang lebih dahsyat dari pada itu dan lebih pahit?" 
Pria tersebut menjawab, 
"Iya, mau.” 
Syaikh melanjutkan, 
“Sekalipun kau kawini seluruh perempuan yang ada di dunia ini, pasti anjing yang berkeliaran di jalanan itu terlihat lebih cantik dalam pandanganmu daripada mereka semua." 
Pria penanya itu tersenyum masam, lalu ia berujar, 
"Kenapa Tuan Syaikh berkata demikian?" 
"Karena masalahnya bukan terletak pada istrimu. Tapi masalahnya adalah bila manusia diberi hati yang tamak, pandangan yang menyeleweng, dan kosong dari rasa malu kepada Allah, tidak akan ada yang bisa memenuhi pandangan matanya kecuali tanah kuburan.”
 Sang Syaikh melanjutkan, 
“Jadi, masalah yang kamu hadapi sebenarnya adalah kamu tidak menundukkan pandanganmu dari apa yang diharamkan Allah. Sekarang, apakah kamu menginginkan sesuatu yang akan mengembalikan kecantikan istrimu seperti pertama kali kamu mengenalnya? Ketika ia menjadi wanita tercantik di dunia ini?" 
Pria itu menjawab, 
"Iya, mau sekali.”
“TUNDUKKAN PANDANGANMU“, jawab sang Syaikh. 
THE LAST but not least, untuk kamu yang sedang dalam pencarian atau penantian, jangan bosan untuk terus memperbaiki diri yaa :). Karena laki – laki yang baik untuk wanita yang baik, kan, begitu pula sebaliknya :).


Bekasi, 17 April 2018.
Dari seorang istri yang masih belajar menjadi istri terbaik untuk suami terbaik. 

Repost from tumblr zakiyaz

Bunsay 6 : Pantulan Warna Zona 6-7-8