Tulisan ini panjang, tapi semoga menjelaskan banyak hal yang akan menggerakkanmu mengubah sesuatu terkait bagaimana kamu memandang pernikahan dan pengasuhan.
Bismillah!
Di penghujung tingkat akhir beberapa waktu yang lalu, ajakan kebaikan dari seorang sahabat telah mengubah banyak hal dalam hidup saya. Apa pasal? Sahabat saya menanyakan sebuah pertanyaan yang sepertinya dia sudah tahu bagaimana saya akan menjawabnya, “Nov, kemarin temanku ngajak aku untuk ikutan komunitas, namanya NuParents. Disana katanya sih akan belajar kesiapan mengasuh pra-nikah gitu. Aku langsung keinget kamu, ikutan yuk!” Tanpa pikir panjang, saya langsung sepakat.
Saat itu, bayangan saya mengenai parenting sangatlah sempit, sesempit seputar mengurus anak saja. Tapi ternyata, NuParents membentuk dan meluaskan persepsi saya sedemikian rupa, hingga saya menyadari bahwa kata ‘parenting’ memiliki makna yang begitu luas, juga dalam. Ibarat garis bilangan, NuParents mengajak orang-orang untuk kembali dulu ke titik nol atau bahkan minus sebelum melakukan pengasuhan, dan melakukan banyak rekonstruksi terlebih dahulu untuk kemudian melaju ke angka-angka bermuatan positif.
Ada Apa dengan Kesiapan Mengasuh Pra-Nikah?
Mungkin ada yang bertanya-tanya tentang kalimat ‘kesiapan mengasuh pra-nikah’ seperti juga saya mempertanyakannya di awal-awal ketergabungan dengan mereka. Tapi lama-lama, saya jadi memahami bahwa kalimat itu benar adanya, sebab ternyata,
kesiapan mengasuh perlu diawali sebelum menikah, sebab ada banyak hal terkait diri sendiri, pengalaman masa lalu, dan bagaimana kita mempersepsikan sesuatu, yang akan berpengaruh pada bagaimana kita kelak mengasuh anak-anak kita.
Bagaimana kami belajar tentu tidak langsung membahas mengenai teknis mendidik anak seperti misalnya tentang bagaimana bersikap kalau anak sedang tantrum, bagaimana memilihkan sekolah, bagaimana pola kurikulum di dalam rumah, atau yang sejenisnya. Sebaliknya, kami mundur jauh terlebih dahulu hingga pembahasan mengenai diri sendiri seringkali menjadi dominan. Rasanya seperti naik roller coaster, sebab banyak hal di dalam hati dan pikiran saya (dan juga teman-teman lainnya) yang terobrak-abrik hampir di setiap sesi meet up rutinan. Tidak hanya itu, kami juga disadarkan untuk tidak terlalu mengedepankan perasaan dalam memikirkan pernikahan sehingga atmosfer yang terbentuk adalah atmosfer persiapan. Masa muda dengan segala kekhawatiran terkait masa depan ini memang tidak mudah untuk dilalui, tapi, setidaknya, NuParents adalah lingkaran yang menjaga kami agar tetap waras dalam memikirkan pernikahan.
Tidak seperti ‘kompor-kompor’ di luar sana yang seolah ramai mempropagandai anak muda agar cepat menikah, NuParents justru menjadi ‘kompor’ yang seolah mempropaganda kami untuk cepat-cepat belajar dan mempersiapkan pernikahan dan pengasuhan. Bukan hanya untuk calon isteri/ibu saja, tapi juga untuk calon suami/ayah.
Bagi saya pribadi, jika sedang merasa pertahanan mulai goyah karena godaan-godaan dari luar, atau jika kantong emosi mulai hampir meledak, NuParents selalu berhasil menjadi lingkaran sehat yang mengembalikan kewarasan saya dan mengingatkan untuk tetap bersikap benar. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah membuat saya tercebur dalam lingkaran kebaikan ini.
Lalu, Mengapa Perlu Belajar dan Mempersiapkan (Sejak Dini)?
Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang dulu berkali-kali saya tanyakan. Ternyata jawaban yang saya dapat di NuParents cukup membuat saya tercengang, sebab, pengetahuan tentang hal itu bukanlah sesuatu yang pernah saya dapatkan sebelumnya perkuliahan. Memangnya apa yang terjadi?
Sebagai generasi milenials, saat ini kita sedang menghadapi tantangan besar, yaitu gap generasi dan perbedaan persepsi mengenai kesiapan mengasuh. Kebanyakan orangtua kita dulu membesarkan anak-anaknya dengan pengetahuan seadanya karena menganggap bahwa pengasuhan adalah hal natural yang bisa didapatkan seiring dengan berjalannya waktu. Dampaknya, saat ini kita tidak tumbuh sebagai individu yang dipersiapkan untuk menjadi isteri, suami, bahkan orangtua. Padahal, perkembangan zaman dan situasi dunia hari ini menuntut kita untuk siap dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam mengasuh anak sebagaimana pesan Ali bin Abi Thalib agar kita mendidik anak-anak sesuai zamannya.
Selain itu, satu hal yang baru saya ketahui dari NuParents adalah parenting is all about wiring, sehingga sangat masuk di akal apabila kesiapan mengasuh memang perlu diawali dengan berdamai dengan diri sendiri, memaafkan masa lalu, serta memaafkan juga kesalahan-kesalahan orangtua yang mungkin dulu pernah dilakukannya tanpa sengaja, agar rantai kesalahan itu tidak menjadi kasus berulang yag kita tularkan kepada anak-anak kita.
Tapi, di atas semua itu, motivasi terbesar tetaplah bersumber dari surat cinta-Nya, sebuah ayat yang hampir selalu dibacakan sebelum kami memulai belajar,
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S An-Nisa : 9)
Nah lho! Tidakkah peringatan itu membuat kita takut dan bersegera bergerak untuk mempersiapkan? Ayo belajar, yuuuuk :”)
Tapi, Bukankah Belajar Itu Terkadang Melelahkan?
Iya, benar sekali! Saya sepakat bahwa belajar itu suatu ketika akan menemui titik jenuh yang melelahkan. Disitulah barangkali memang letak ujiannya.Sejak awal sampai sekarang, beberapa kali saya mengalami maju mundur, lelah, dan bahkan merasa flooded karena pembahasan mengenai hal ini seolah dibahas dimana-mana. Hingga suatu hari, saya pernah bertanya pada senior yang sudah menikah, “Teh, aku capek banget belajar. Lama-lama aku pusing dan rasanya pengen engga belajar lagi meski aku sadar kalau aku mikir kayak gitu berarti aku lagi salah banget. Aku harus gimana, sih?” Lalu, teteh itu menjawab,
“Nov, kesiapan hadir karena ilmu, ketakutan hilang karena ilmu, kekhawatiran juga pergi karena ilmu. Capek belajar wajar, tapi memilih berhenti itu engga wajar. Diorganisir lagi aja waktu dan energinya, dan coba bikin ketersambungan antara hal-hal yang dipelajari itu, biar jadi sistematis juga mikirnya.”
Aha! Ternyata teteh itu benar. Rupanya, kelelahan belajar itu tidak pernah bersumber dari materi yang dipelajari, tapi lebih bersumber pada apa-apa yang ada di dalam diri.
Akankah Semua Ini Bermuara pada Bahteranya?
Pada prinsipnya, tidak ada seorang pun dari kita yang akan bisa mengetahui atau minimal menebak-nebak apa yang akan terjadi di masa depan. Pena telah mengering dan takdir telah tertuliskan. Tidak pernah ada yang tahu apakah pengalaman pernikahan dan pengasuhan ini akan kita rasakan atau tidak, meski kita sudah belajar. Tapi, tidak pernah ada yang salah dengan belajar dan mempersiapkan, bukan? Seperti yang ditulis oleh Kang Canun dan Teh Fufu dalam salah satu bukunya, kurang lebih begini,
“Belajar dan mempersiapkan adalah tentang bagaimana kita berjuang untuk menjadi orang yang beruntung, yaitu orang yang hari esoknya akan lebih baik dari hari kemarinnya.”
Yup! Kalimat itu bisa menjadi penguat bagi kita, bahwa pembelajaran dan persiapan yang dilakukan adalah dalam rangka menjadi manusia yang lebih baik, yang mengupayakan ibadah kepada-Nya dengan upaya terbaik.
Tentang hal ini, pernah ada air mata yang beberapa kali terjatuh. Seperti misalnya ketika meet up selesai lalu terlintas di pikiran, “Akankah yang tadi dipelajari itu akan bertemu dengan kesempatan perwujudannya?” Sedih, tapi bagaimana pun pertanyaan itu bukanlah pertanyaan yang perlu susah payah dicari-cari jawabannya, sebab semua sudah ada dalam ketetapan-Nya.
Sore tadi, saat sedang membicarakan sesuatu terkait NuParents, saya dan @likalulu tiba-tiba saja saling bercerita, “Lika, engga kebayang ya gimana nanti ke depan. Kadang aku sedih kalau abis selesai belajar karena engga kebayang banget apakah nanti Allah akan kasih kesempatan untuk mengamalkannya atau engga. Sejujurnya sepulang dari belajar KBBM itu aku nangis, tiba-tiba gemeter gitu karena bertanya-tanya apakah aku akan sampai kesana atau engga. Lalu aku merasa alay kenapa aku nangis~”
Entah apa yang sedang dipikirkan Lika saat itu, tapi kami merasakan hal yang sama. Lalu Lika menjawab, kurang lebih begini,
“Sama Nov, tapi insyaAllah selalu berbaik sangka sama Allah, ya! Allah kasih ilmunya, insyaAllah dikasih kesempatan juga buat mengamalkannya. Aku hanya ingin memastikan ada di lingkaran yang baik dalam rangka mempersiapkan diri. Kita engga tau mana yang duluan datang, mati atau nikah. Tapi selagi menuju itu dijalani buat Allah, semoga Allah selalu ridho.”
Duar! Meletus balon hijau~
Pada intinya, entah nanti Allah akan pertemukan dengan pernikahan dan pengasuhan atau tidak, semoga kita terus belajar, mempersiapkan diri, dan berbaik sangka kepada Allah, agar semoga setiap upaya itu bisa menjadi amal shalih dan kebaikan yang berantai-rantai meski mungkin kita nanti telah berpulang.
Tulisan ini adalah pemantik yang semoga menggerakkanmu untuk belajar dan bersiap sejak dini, bahkan mungkin sejak belum terpikir olehmu tentang dengan siapa kamu akan menikah nanti. Belajarnya tidak perlu hanya di NuParents, kamu bisa belajar dimana pun dan dari mana pun, tentunya asal dari sumber yang benar dan terpercaya, ya! Tapi, kalau ingin belajar dengan NuParents, insyaAllah kita bisa belajar bareng hari Sabtu tanggal 21 Oktober 2017 di Bandung. Cek info lengkapnya di tautan berikut ini.
Selamat belajar, selamat mempersiapkan (kedatangan)! Sebab, bersiap itu melegakan, sementara berdiam itu melenakan karena kemungkinan paling mungkinnya adalah berujung pada kegalauan. Semoga Allah memudahkan setiap niat baik dan mempertemukannya dengan jalan-jalan terbaik.InsyaAllah, semoga sebentar lagi sampai :”)
Repost from Novieocktavia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar