Rabu, 14 Maret 2018

POLIGAMI : Antara Keadilan dan Perasaan 1

Majelis hari itu (28/05/16) tidak seperti biasanya. Perbandingan laki-laki dan perempuan nampak sekali: 1 banding 5 padahal biasanya tidak terlalu jomplang begitu. Ditambah lagi, pembahasan di majelis kali ini topiknya ‘luar biasa’, An Nisa’ ayat 3. 
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Belum-belum, kami (perempuan, red) sudah malas duluan membahasnya. Belum apa-apa, kami sudah cemburu. Iya, sudah cemburu. Padahal kalau dipikirkan, belum juga menikah, malah…belum juga ada calonnya. Tapi, kami sudah cemburu hanya dengan disinggung saja. Sekali lagi saya ulangi, kami sudah cemburu (di mana di sisi lain sana ada yang bersorak-sorai). Dan saya sadar, inilah bentuk asli perasaan seorang perempuan. Hadir direct dari kedalaman hatinya. Banyak ragam bentuk cemburu yang saya amati dari wajah kawan-kawan saya saat itu: ada yang sengaja tidak mau menatap layar materi, ada yang mementahkan tiap rincian materi pembuka, ada yang memasang muka masam, ada yang diam saja tapi diam-diam hatinya tergerus (saya misalnya). Hahaha.

Tapi, kami mendengarkan dan merekam setiap perkataan Ustadz Deden Makhyaruddin, waktu itu. Secemburu-cemburunya, kami tetap lebih ingin memenuhi keingintahuan tentang ilmunya, tentang bagaimana hukumnya, sebab hal ini tidak terlepas dari kehidupan kami nantinya mau suka maupun tidak suka.
Dan, tak disangka, Ustadz Deden menerangkan hal ini dengan indah sekali. Persis seperti Allah menuliskannya dalam An Nisa ayat 3.
“Ini ayat tentang apa?” tanya Ustadz Deden mengawali penjelasannya
Maka, dengan malas-malas sebal (kami, perempuan) dan dengan takut-takut bingung campur senyum-senyum yang entah apa artinya (para laki-laki) menjawab “Tentang poligami dalam islam.”
“Salah.” dan kami pun diam, bingung.
“Pemahaman awalnya saja sudah salah, maka jangan tanya pengamalannya. Siapa bilang ini ayat tentang poligami?”
Kami diam

“Jelas-jelas Allah mengawalinya dengan  ‘Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil’. Sudah jelas ini ayat tentang keadilan.”
Kami masih terus diam, namun hati kami penasaran. Pembahasan ini mulai menarik.
Ustadz Deden tersenyum puas melihat kami kebingungan sekaligus penasaran.
“Mengapa sih Allah menempatkan perempuan sebagai objek di ayat ini?”

Kami masih diam sebab kami memang tak punya ide sama sekali tentang apa jawabannya.
“Sebab dahulu, jaman Rasulullah hidup, perempuan adalah objek ketidakadilan dan mungkin saat ini pun masih. Dan dengan ayat ini, Allah hendak mengangkat keadilan untuk para perempuan.”
“Coba dicermati, mengapa di sana disebutkan tentang anak yatim terlebih dahulu? Karena anak yatim, dan perempuan, adalah objek ketidakadilan yang paling besar, dahulu. Ketika ayahnya meninggal, iya tidak mempunyai tempat perlindungan. Salah satu tempat perlindungan yang paling baik adalah mencarikannya laki-laki yang mau menikahinya (sekaligus memberikan keadilan kepadanya). Dan, jumlah anak yatim perempuan itu tak terbanyang banyaknya waktu itu, sebab perang merenggut ayah-ayah mereka sehingga mereka terlunta-lunta bersama harta ayah mereka yang banyak, yang telah ditinggalkan. Maka, tempat perlindungan yang baik adalah suami. Maka, bagi siapapun yang hendak berbuat adil kepada saudaranya, menikahi anak yatim adalah lebih utama untuk menjaga hak-haknya, memberikan perlindungan dan memberikan keadilan.”
Kami diam, masih diam.

“Coba, cermati lagi, adakah unsur perasaan di sini? Tidak ada sama sekali.”
Kami saling berpandangan.
“Mari kita coba bahas kalimat selanjutnya. Di sana disebutkan jika takut tidak bisa berbuat adil kepada anak-anak yatim itu, maka menikahlah dengan wanita-wanita lain (yang kamu senangi). Kita ralat di sini, sebab terjemahan di sini agak rancu. Dilihat dari struktur bahasa arabnya, harusnya terjemahannya adalah: yang menyenangimu. Saya sudah usulkan perbaikannya kepada kementrian agama, namun sepertinya belum difollow up saja. Jadi, sekali lagi, tidak ada dorongan perasaan di sini, ketika seorang laki-laki harus memutuskan untuk menikahi lebih dari 1 perempuan.”
“Maka, itulah kenapa Rasulullah tidak pernah menikah dengan wanita lain selama Khadijah masih hidup. Sebab Rasulullah menikahi Khadijah dengan perasaannya, dengan rasa cinta, bukan atas dorongan membagi keadilan.”

Maka mahfumlah kami, mengapa Khadijah dan putrinya, Fatimah adalah dua perempuan utama yang tidak pernah dimadu suaminya: Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib. Dalamnya perasaan Rasulullah kepada Khadijah dapat terlihat dari cemburunya Aisyah kepada sosok ini sekalipun Khadijah telah meninggal. Kita juga tentu sudah sering mendengar bagaimana kisah Fatimah dan Ali. Keduanya adalah dua orang yang pandai menyembunyikan perasaan, bahkan syaitan pun tak mengetahuinya. Keduanya sudah jatuh cinta jauh-jauh hari, sejak lama sekali dan menikahlah mereka karena rasa cinta itu.

Kembali kepada penjelasan Ustadz Deden
“Kita lihat selanjutnya, disebutkan ‘menikahlah dengan dua, tiga atau empat’. Artinya, menikahlah dengan langsung dua orang, tiga orang, atau empat sekaligus. Tidak satu-satu. Itu tata cara sunnahnya. Lebih baik seperti itu. Sebab jika menikah satu, kemudian nambah satu, nambah lagi, ada perasaan yang akan ikut serta di situ. Ada perasaan yang dulunya utuh, kemudian terbagi. Berbeda jika langsung dua, tiga atau empat, memang sudah sejak awal dibagi, sudah sejak awal adil sehingga diharapkan kedepannya lebih dekat dengan keadilan.”

Kami riuh rendah, semuanya. Sebab ini adalah ilmu yang baru sekali kami dapat. Banyak bisik-bisik heboh di sana-sini, perempuan maupun laki-laki. Pembahasan ini kian menarik lagi. Kami tak lagi cemburu, iya, tak lagi cemburu. Bagi kami perempuan, hal ini masuk akal, sebab jika sejak awal kami sudah diberikan jatah setengah, atau sepertiga, atau seperempat, maka tentu kami akan paham kedepannya bahwa hak kami memang hanya sebagian itu, tidak seluruhnya. Berbeda jika awalnya kami mendapat utuh, kemudian harus membaginya di pertengahan perjalanan. Ada retak yang entah bagaimana rasanya jika membagi hal yang sangat dicintai, dan hal ini berhubungan dengan pembahasan selanjutnya: keadilan perasaan.

“Kemudian, siapa sih wanita yang pantas untuk dinikahi ini? Mari kita lihat penggalan ini  مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ . Di situ, dituliskan  مَا . Berdasarkan ilmu nahwu,  مَا  itu dipakai untuk benda mati, untuk yang tidak mempunyai hati.  مِنَ النِّسَاءِ artinya wanita. Berdasarkan strukturnya, dapat ditarik arti bahwa wanita yang dimaksud adalah wanita yang ‘hatinya telah mati’ artinya, ia tidak lagi menempatkan perasaan untuk sebuah pernikahan. Ia menempatkan keinginan akhirat di atas segalanya: demi keadilan, demi perlindungan, demi terjaga kesuciannya, demi menghindari fitnah dan lain-lain. Sekali lagi, tidak ada dorongan perasaan di sini. Terlebih, tidak ada dorongan syahwat di sini.”

Kami diam senyum-senyum.
“Lalu, ada tidak wanita itu jaman sekarang?” tanya Ustadz Deden senyum-senyum juga.
“Sulit, Ustadz.” para laki-laki menjawab lirih-lirih.
“Makanya, bisa nggak nikah lebih dari satu?”
Kami tertawa dan menjawab serentak “Sulit, Ustadz.” dan keadaan riuh rendah beberapa lama.
“Nah makanya….”
Kami senyum-senyum sendiri. Asy Syifa riuh rendah di sana-sini.
bersambung part 2 (klik)
*disarikan dari ceramah Ust. Deden Makhyaruddin dalam kajian Madrasah Peradaban,  280516, Masjid Asy Syifa, Jakarta Pusat. 

**kekurangtepatan penjelasan karena terbatasnya ilmu penulis dalam membahasakannya kembali. Mohon dikoreksi jika berkenan.

- Repost from tumblr Khoiriyalatifah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bunsay 6 : Pantulan Warna Zona 6-7-8