“More than 20 million children live in a home without the physical presence of a father. Millions more have dads who are physically present, but emotionally absent. If it were classified as a disease, fatherlessness would be an epidemic worthy of attention as a national emergency.”
Kutipan di atas berasal dari www.fathers.com, sebuah situs milik National Center for Fathering (NCF) yang berdiri pada tahun 1990 di Amerika Serikat. NCF adalah organisasi yang concern pada fathering, khususnya pada fenomena fatherless. Mungkin beberapa orang masih awam dengan kata ‘fathering’ dan ‘fatherless’. Tidak heran, sebab topik ini memang jarang diangkat dalam pembahasan parenting sekalipun. Atau, kalaupun dibahas, tidak terlalu mendalam. Fathering dalam Bahasa Indonesia seringkali dibahasakan sebagai ‘ke-ayah-an’ atau ilmu tentang menjadi ayah. Fatherlessadalah fenomena di mana sosok ayah absen secara fisik maupun emosional dalam pengasuhan anak.
Nah, sudah terbayang belum maksud fathering dan fatherless itu apa? Apa sih sebenarnya maksud ‘menjadi ayah’ di sini? Mari coba kita jabarkan bersama.
Mari kita lihat lagi apa definisi Ayah dan keayahan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
ayah1 n 1 orang tua kandung laki-laki; bapak; 2 panggilan kepada orang tua kandung laki-laki;
keayahan/ke·a·yah·an/ n 1 hal-hal yang berhubungan dengan tugas dan kewajiban ayah; 2 sifat-sifat yang dimiliki seorang ayah
Mari kita ambil satu pemisalan. Seseorang yang mempunyai bola, apakah sudah bisa disebut pemain bola? Lantas apakah jika seorang laki-laki telah mempunyai anak lantas sudah bisa disebut ayah? Bisa memang, tapi cukup sebagai ‘panggilan’ saja. Padahal, ayah adalah posisi yang lebih dari sekedar ‘mempunyai’. Menjadi ayah adalah tentang berbuat sesuatu sebagai andilnya dalam pengasuhan anak. Selama ini, awam kita pahami bahwa pengasuhan anak adalah tugas ibu sebagai Madrasatul Uula, madrasah pertama bagi anaknya, sehingga sejak akhil baligh para gadis sudah dituntun (dan dituntut) untuk belajar menjadi Ibu (dan istri) yang baik (yang dalam masyarakat awam kita sekarang lebih sering diartikan dengan pandai memasak, pandai bersih-bersih, sopan dan berlaku lemah lembut). Jarang kita temui di masyarakat para anak laki-laki itu dididik menjadi ayah (dan suami) yang baik. Paling maksimal, para anak laki-laki yang sudah memasuki fase remaja-dewasa ini dididik untuk bisa melakukan perkerjaan-pekerjaan kasar seperti mengganti bohlam lampu, membereskan genting rumah, memperbaiki pompa air dan berbagai pekerjaan lainnya yang (dianggap) tidak bisa dikerjakan perempuan. Tidak salah memang, hanya saja tujuan Allah mengirimkan sosok ayah kepada seorang anak tidak akan tercapai dengan ‘hanya’ menguasai kemampuan-kemampuan itu.
Diam-Diam Sayang
Tapi kalau diam aja mana tahu kalau sayang?
Sebelumnya, kita semua harus sepakat bahwa tidak ada Ayah yang tidak menyayangi anaknya. Seperti halnya seorang ibu yang pasti mencintai anaknya, seperti itu pulalah seorang Ayah. Perbedaannya adalah, ibu (biasanya) dibekali dengan kemampuan menunjukkannya secara verbal dan visual sedangkan para Ayah cenderung gengsi dan jaim untuk menunjukkan perasaan sayangnya kepada anak. Inilah yang dalam www.fathers.com disebut sebagai “dads who are physically present, but emotionally absent”.Yang terjadi di masyarakat saat ini adalah sepulang bekerja percakapan Ayah dan anak maksimal hanya berhenti pada pertanyaan “Bagaimana sekolahnya tadi?” atau “Ngapain aja adek hari ini?” atau “Tadi nggak nakal kan di sekolah?” atau “ PRnya udah dikerjain belum?” atau yang lebih parah justru langsung masuk kamar dan istirahat. Jarang sekali terjadi pecakapan Ayah dan anak yang merambah pada pembentukan sikap dan penyampaian perasaan. Percakapan semacam “Adek tadi sedih ya karena digangguin temennya?” atau “Terus gimana tadi minta maafnya?” atau ungkapan “Bagus sekali anak Ibu, sudah bisa memaafkan temennya. Jadi anak pemaaf itu baik. Terimakasih, ya.” seringnya diucapkan oleh para ibu. Kegiatan mendongeng pun seringnya dilakukan oleh para ibu sehingga siapapun tokohnya (laki-laki maupun perempuan) selalu diperankan oleh ibu.
Pak Guru di mana?
Contoh konkrit lain dari fenomena fatherless dapat kita lihat pula di taman kanak-kanak (TK) atau playgroup saat ini. Pada umumnya, sekitar 98% atau bahkan 100% guru di sekolah tersebut adalah perempuan. Hal ini menjadi salah satu bukti konkrit dari pemahaman masyarakat bahwa pendidikan anak itu diserahkan kepada ibu. Padahal, yang masuk sekolah tersebut tidak hanya anak perempuan, namun juga anak laki-laki. Daripada anak perempuan, anak laki-laki dinilai lebih urgent membutuhkan sosok ayah sebagai bentuk nyata dan contoh yang bisa dilihat sebagai seorang ‘lelaki’. Pada usia 7 hingga 14 tahun misalnya, seorang anak laki-laki membutuhkan sosok ayah sebagai seseorang yang mampu mengajarkannya (1) keberanian yang harus dimiliki seorang laki-laki, (2) bagaimana seorang laki-laki menghadapi ketakutan, (3) kapan dan bagaimana laki-laki harus menunjukkan kesedihannya, (4) bagaimana seorang laki-laki saat bahagia. Misalnya lagi, dalam kegiatan mendongeng, anak-anak membutuhkan contoh visual sosok Umar bin Khatab yang tegas dan gagah berani yang tidak akan mungkin bisa diperankan secara maksimal oleh seorang guru TK perempuan. See? Betapa pentingnya peran guru laki-laki di sini, Guys (widih ‘guys’ wkwk). Sampai di sini, tidak salah rasanya jika Lamb (1999) mengatakan bahwa ayah adalah “the forgotten contributor” dalam pengasuhan anak.
Percakapan Ayah dan Anak dalam Al-Qur’an
Berikut saya ambil dari tulisan Cahyadi Takariawan:
“Sarah binti Halil bin Dakhilallah Al-Muthiri menulis terkait hal ini. Tesisnya berjudul “Hiwar Al- Aba’ Ma'a Al-Abna Fil Qur'anil Karim wa Tathbiqatuhu At-Tarbawiyah”, atau Dialog Orang Tua dengan Anak dalam Al-Quran Karim dan Aplikasinya dalam Pendidikan. Sarah mencatat, Al-Qur'an memuat dialog orang tua dengan anak dalam 17 tempat yang tersebar di 9 surat. Perinciannya, dialog ayah dengan anak sebanyak 14 tempat; dialog ibu dengan anak sebanyak 2 tempat, dialog kedua orang tua dengan anak (tanpa nama) sebanyak 1 tempat.”
Dalam tesis yang disebutkan Cahyadi Takariawan tersebut, percakapan ayah dan anak berjumlah >5 kali lipat lebih banyak percakapan ibu dan anak. Melihat fakta ini, kita sadar betapa pentingnya peran ayah dalam pengasuhan anak.
Ayah Irwan Rinaldi, mantan dosen Universitas Indonesia yang kemudian mengabdikan dirinya sebagai guru TK pernah menyampaikan bahwa percakapan ayah dan anak sebetulnya tidak memerlukan kuantitas yang banyak, namun lebih membutuhkan kualitas yang baik. Jadi, menurut beliau, tidak ada alasan bagi ayah yang sibuk bekerja untuk tidak berbincang dengan anak meskipun sebentar. Seorang ayah (hanya) perlu belajar bagaimana seni berbincang dengan anak ini sehingga mampu menjadi sarana mencapai tujuan fathering tersebut.
Bagaimana menjadi ‘ayah’?
Sampai pada paragraf ini, semoga kita sudah satu frame ya dalam menganggap bahwa fathering itu penting. Semoga kita berada pada satu keresahan yang sama (cieehehe) tentang fatherless. Dan, semoga kita berada pada harapan yang sama untuk segera bertemu dan/atau menjadi sosok laki-laki yang bisa menjadi Ayah dan ‘ayah’ (eh hehehe). Lalu bagaimana menjadi ‘ayah’? Berikut adalah beberapa hal yang harus menjadi perhatian. Point-pointini disampaikan oleh Ayah Irwan Rinaldi dalam Forum Ushroh, Minggu, 9 April 2017 di Masjid Agung Al Azhar, Jakarta Selatan.
1. Memperhatikan Hubungan dengan Allah, Menjadi Hamba yang Baik
Menjadi hamba yang baik adalah kunci awal menjadi ayah yang baik. Untuk memahami fungsi ayah dalam pengasuhan anak, sebelumnya tentu harus mengetahui kewajiban dan hak seorang manusia kepada Tuhannya. Ilmu-ilmu pengasuhan anak baik teori maupun prakteknya seringkali dekat dengan ilmu-ilmu agama. Bahkan, kadang ilmu agama itulah yang juga merupakan ilmu parenting. Parenting Nabawi bahasa kerennya, parenting ala nabi. Maka, sebelum menjadi ayah yang baik, haruslah menjadi hamba yang baik terlebih dahulu.
2. Memperhatikan Hubungan dengan Istri, Menjadi Suami yang Baik
Seorang ayah (biasanya) bisa dipastikan juga adalah seorang suami. Dalam salah satu tulisan Ust. Bendri Jaisyurrahman, beliau pernah menyampaikan bahwa jika ada ungkapan “al ummu madrasatul uula” maka “wal abu mudiruha”: Ibu adalah Madrasah Pertama dan Ayah adalah Kepala Sekolahnya. Seorang kepala sekolah yang baik tentu akan memperhatikan keberlangsungan hidup gurunya dengan baik agar dapat menyampaikan materi pengajaran kepada anak didiknya. Seorang kepala sekolah juga adalah teladan setiap guru dalam pengajaran, sehingga seorang kepala sekolah pun seharusnya tidak hanya mengerti tentang ilmu memenuhi sarana dan prasarana mengajar (dalam hal ini disebut nafkah) tapi juga mahir dalam menyusun kurikulum.
3. Bekali Diri dengan Ilmu, Belajar Tumbuh Bersama Anak
Berkembangnya zaman membuat teknik mendidik anak pun berkembang. Mungkin kita sering mendengar ayah dan ibu kita berkata “dulu ibu nggak gitu lho, kamu ini kenapa tingkahnya aneh-aneh.” atau “jaman ayah dulu kuliah, nggak seperti ini.”. Ungkapan-ungkapan itu adalah tanda bahwa zaman berubah, berkembang dan berbeda tantangan. Maka, zaman di mana anak kita (cie, ‘kita’ banget nih?) dilahirkan dan dididik akan sangat berbeda dengan saat ini. Akan banyak tantangan baru sehingga membutuhkan ilmu baru yang harus terus dicari dan digali. Uwuwuwuw, semangat yha! #apalho
Pada akhirnya, kita harus kembali menyepakati satu hal bahwa setiap Ayah itu menyayangi anaknya. Ayah adalah sosok yang diam-diam mencintai. Ayah adalah ia yang diam-diam memperhatikan. Ayah sejatinya diam-diam mendoakan. Sampai ketika saatnya tiba: anaknya menikah, Ayah juga yang diam-diam kehilangan. Setiap Ayah itu hebat dan akan menjadi semakin hebat jika mau terus belajar mengungkapkan Cinta yang Diam itu.
Semangat, ya, Ayah.
Terimakasih atas kerja keras dan cintamu.
Allah menjagamu :)
*Tulisan ini merupakan intisari dari Kajian Forum Ushroh dengan tema “Ayah Ada, Ayah Tiada” Minggu, 9 April 2017 di Masjid Agung Al Azhar, Jakarta Selatan dan juga beberapa pandangan pribadi dari penulis.

Berikut ini beberapa link bacaan terkait fathering yang mungkin bisa menjadi asupan ilmu:
1. www.fathers.com
2. https://ayahuntuksemua.wordpress.com/
3. Ayah Harus Banyak Dialog dengan Anak (Oleh: Cahyadi Takariawan)
4. Sosok Ayah Penentu Arah (Oleh: Bendri Jaisyurrahman)
5. Tokoh Ayah dalam Al-Quran dan Keterlibatannya dalam Pembinaan Anak (Oleh: Rahmi)

- Repost from tumblr Khoiriyalatifah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar